PURA GUMANG PENINJOAN

----- ****** -----
OM SWASTIASTU
---------------------
Sedikit Berbagi Tentang Budaya Adat Dusun Peninjoan, Narmada, Lombok
---------- ************ ----------
**************************************************************************************

Selasa, 18 Januari 2011

Tari Rejang & Abuang

Tari Rejang & Abuang merupakan tarian yang dikeramatkan atau disakralkan oleh Umat Hindu, tarian ini biasanya dilaksanakan pada saat odalan ataupun Usaba di Desa-desa umat Hindu, baik di Bali maupun di Lombok. Salah satu desa di Lombok yang selalu melaksanakan tari Rejang dan Abuang ini pada saat Odalah atau Usaba adalah dusun Peninjoan. Berkaitan dengan makna tari Rejang dan Abuang ini, terdapat beberapa pemaparan dari beberapa tokoh umat Hindu di Dusun Peninjoan.

Arti Tari Rejang dan Tari Abuang Menurut Mangku Wirka, yang dijadikan sampel dalam penelitian ini berpendapat bahwa, Tari Rejang adalah sejenis tarian yang merupakan salah satu tarian sakral yang mengandung arti ungkapan rasa gembira dan rasa bhakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena telah melimpahkan segala hasil yang dapat memberikan atau mempersembahkan bhakti serta dapat menjadi ukuran bahwa yang telah dapat menari dan pentas (ngerejang) adalah pertanda sudah gadis, menginjak dewasa serta masih perawan.

Sedangkan tari Abuang menurut Ni Luh Megeg mengatakan bahwa, Abuang artinya Tabuh ( tetesan) dari air Nira / tuak pada para Bhuta kala. Jadi tari Abuang adalah upacara persembahan (tabuh) kehadapan para Bhuta kala agar tidak mengganggu upacara dalam permohonan amrtha kehadapan para Dewata yang merupakan menifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang dikisahkan dalam kisah Mahabarata pemutaran Gunung Mandara Giri pada saat para Dewata mencari amrtha kemudian para raksasa ingin merebut amertha tersebut agar raksasa selalu hidupnya abadi. Para penari terdiri dari teruna yang masih perjaka atau belum menikah.

I Nengah Londra selaku Ketua Krama Pura Gumang berpendapat, Tari Rejang dan tari Abuang adalah merupakan tarian sakral yang melambangkan ungkapan rasa gembira, serta ungkapan terimakasih kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena selama ini telah memberikan perlindungan pada masyarakat Desa Bugbug yang mendiami wilayah peninjoan. Sedangkan pengertian tari Abuang yaitu suatu upacara persembahan kehadapan para Bhuta kala agar jalannya upcara Dewa Yadnya tidak diganggu serta dapat berjalan dengan lancar sehingga permohonan untuk memperoleh amerta dapat terkabulkan.

Menurut Ni Wayan Suci Astuti selalu Sekretatis Sekehe Teruna-Teruni Eka Cita Dharma pada 18 November 2005 berpendapat bahwa tari Rejang dan tari Abuang adalah tarian sakral yang harus dilaksanakan pada saat Usaba Gumang dimana para penari harus suci lahir dan bathin, bagi pembawa tari Rejang adalah Teruni/Dahan Desa yang berstatus perawan, belum menikah, tidak dalam masa cuntaka, sedangakan penari tari Abuang status perjaka, tidak dalam masa cuntaka serta belum menikah.

Sehingga Tari Rejang berarti Upacara yang harus dilakukan, dengan membawakan Rejang karena Rejang adalah sejenis tarian yang merupakan tarian sakral dan merupakan ungkapan rasa gembira dan rasa bhakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena telah melimpahkan segala hasil yang dapat memberikan atau mempersembahkan bhakti serta dapat menjadi ukuran bahwa yang telah dapat menari dan pentas (ngerejang) adalah pertanda sudah gadis, menginjak dewasa serta masih perawan. Sedangkan tari Abuang artinya Tabuh ( tetesan) dari air Nira / tuak pada para Bhuta kala. Jadi tari Abuang adalah upacara persembahan (tabuh) kehadapan para Bhuta kala agar tidak mengganggu upacara dalam permohonan Amrtha kehadapan para Dewata yang merupakan menifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang dikisahkan dalam Kisah Mahabarata pemutaran Gunung Mandara Giri pada saat Para Dewata mencari Amrtha kemudian para raksasa ingin merebut Amrtha tersebut agar raksasa selalu hidupnya abadi. Para penari terdiri dari teruna yang masih perjaka atau belum menikah.

Sejarah Tari Rejang dan Tari Abuang

Mangku Wirka mengatakan bahwa, secara tradisi tarian yang termasuk sakral harus dipentaskan pada saat piodalan/Usaba sesuai dengan uraian pada Lontar Purwagama yang ditulis oleh Rsi Markandeya pada jaman Pemerintahan Raja Watu Renggong pada abad ke XVI yaitu pada saat mulai penerbitan Desa Adat. Ini dapat di lihat dari berbagai ketentuan :

  1. Tarian sakral dibawakan oleh teruna-teruni yang dianggap suci, belum menikah, bagi teruni masih keadaan perawan, bagi teruna masih perjaka, tidak dalam masa cuntaka, serta menginjak usia dewasa,
  2. Menurut lontar Purwagama teruna-teruni sangat disenangi oleh para dewa-dewi untuk mengusung dan menyungsung para dewa-dewi karena dianggap masih suci,
  3. Juga merupakan kewajiban bagi krama bajang untuk dilibatkan dalam setiap upacara generasi penerus.

Tari Rejang dan tari Abuang yang dipentaskan setiap upacara Usaba Gumang di Desa Bugbug Kabupaten Karangasem Bali kemudian merantau ke Dusun Peninjoan Desa Peresak Kecamatan Narmada telah mengikuti hasil pesamuhan para penggelingsir Desa Adat Bugbug Kabupaten Karangasem Bali saat pembentukan Desa Adat. Jadi informasi ini disampaikan dan dilaksanakan turun-temurun oleh masyarakat Dusun Peninjoan. Sesolahan atau bentuk tarian sakral ini diadakan hampir disetiap pura pada saat Usaba/piodalan Agung di Bali. Hanya nama, penari, dan fungsi, dan maknanya yang berbeda-beda, sesuai dengan adat setempat.

Makna Tari Rejang & Abuang

  • Makna Tari Rejang

Hasil wawancara dengan Mangku Wirka Pementasan tari Rejang sebanyak tiga kali putaran mengandung makna pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Maha Tunggal dalam perwujudan Tri Murti, gerakan kepala menunduk mengandung makna simbol sifat-sifat Satwika, gerakan tangan kanan merupakan makna simbol dari sifat-sifat Rajasika, dan tangan kiri mengandung makna simbol dari sifat-sifat Tamasika. Pementasan Aci Rejang sebanyak 5 kali putaran mengandung makna pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudan Panca Dewata, dan pementasan yang tari Rejang sebanyak 11 kali pada saat Rahinan Ngelukar Usaba merupakan perwujudan permohonan keselamatan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudan Eka Dasa Dewata yaitu Iswara, Brahma, Mahadewa, Wisnu, Siwa, Mahesora, Rudra, Sangkara, Swayambhu, Siwa, OM.

Tari Rejang dipentaskan sebanyak 3 kali (murwa daksina) menurut I Made Kawi mengandung makna pemujaan Tuhan Yang Tunggal dalam 3 (tiga) perwujudan yaitu Brahma, Wisnu, dan Siwa ( Tri Murti). Posisi kepala menunduk sebagai makna bentuk dari pemujaan yang bersifat Satwika kepada Dewa Wisnu sebagai Dewa yang utama, gerakan tangan kanan mengandung makna bentuk dari pemujaan yang bersifat Rajasika kepada Dewa Brahma sebagai Dewa yang utama, gerakan tangan kiri mengandung makna bentuk dari pemujaan yang bersifat Tamasika kepada Siwa sebagai Dewa yang tertinggi. Pementasan tari Rejang sebanyak 5 kali mengandung makna pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudan Panca Dewata, dan pementasan yang tari Rejang sebanyak 11 kali pada saat Rahinan Ngelukar Usaba merupakan perwujudan permohonan keselamatan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudan Eka Dasa Dewata yaitu Iswara, Brahma, Mahadewa, Wisnu, Siwa, Mahesora, Rudra, Sangkara, Swayambhu, Siwa.

Sekretaris Teruni Eka Cita Dharma Ni Wayan Suci Astuti berpendapat bahwa makna tari Rejang dalam upacara Dewa Yajna merupakan perwujudan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudan manifestasi dalam wujud Tri Murti di simbolkan dalam gerak melingkar sebanyak tiga kali, Panca Dewata dalam gerak melingkar 5 kali putaran (bangunan), Eka Dasa Dewata dalam gerak melingkar 11 kali bangunan. Gerakan tangan kanan dan tangan kiri merupakan makna dari simbol sifat-sifat Rajasika dalam perwujudan Dewa Brahma dan Tamasika dalam perwujudan Dewa Siwa. Sedangkan gerakan kepala menunduk mengandung makna sifat-sifat Sattwika yang dalam berwujudan Tri Murti yaitu Dewa Wisnu .

Makna tari Rejang menurut Ni Ketut Wista berpendapat dalam upacara Dewa yajna Tari Rejang bermakna sebagai persembahan Yajna berupa Seni Sakral untuk memohon perlindungan dan keselamatan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa melalui manifestasinya beliau dalam perwujudan simbol tari Rejang dalam wujud Tri Murti, Panca Dewata, dan Eka Dasa Dewata.

  • Makna Tari Abuang

Penari Aci Abuang dalam pementasannya dilengkapi dengan senjata / keris yang menyelip di bagian punggung menurut pendapat Ni Luh Megeg dan Mangku Wirka mengatakan bahwa makna simbol dari jenis kelamin purusa. Pada gerakan menuangkan air nira / tuak dengan menggunakan daun merupakan perwujudan dari persembahan kepada bhuta kala (metabuh) agar tidak mengganggu proses permohonan amrta kepada para Dewata, di bagian akhir tarian ini mengambil posisi dikenal dengan istilah melancis yaitu makna simbol dari para Dewata dan Bhuta kala saling mengadu kekuatan untuk memperoleh amrtha.

Ni Kadek Carmiati Dan Ni Wayan Suci Astuti berpendapat bahwa tari Abuang dalam upacara Dewa Yajna memiliki makna yang sangat religius yang sangat tinggi seperti dalam gerakan jari tangan terbuka mengandung makna pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi dalam wujud manifestasi Dasa Dewata. Keris yang menyelip di punggung mengandung makna simbol dari pertanda jenis kelamin laki-laki yang dipergunakan sebagai kekuatan purusa. Gerakan diakhir tarian dikenal dengan melancis adalah simbol dari para Dewata dan raksasa memperebutkan amrtha dari pemutaran gunung Mandara Giri.

Menurut Ni Kadek Renteb diperoleh makna tari Abuang dalam upacara Dewa Yajna mengandung makna sebagai sebagai permohonan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar selalu berada dalam lindungan-Nya. Tari Abuang berfungsi sebagai wujud bahwa upacara Dewa Yajna harus didahului dengan persembahan kepada bhuta kala agar selalu terhindar dari gangguan mahluk jahat atau roh jahat dengan simbol diperolehnya tirtha amrtha pada saat berakhirnya pementasan.

Sumber :

Tokoh Umat Hindu di Dusun Peninjoan

Penulis :

PUTU KUMALA DEWI

Diposkan oleh:

IWAD, Admin Blog Gumang Peninjoan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan saran dan masukan yang membangun..
Pilih Profil Name/URL untuk memberikan komentar!!!